Apa itu Fintech ? menurut bi.go.id, Fintech
atau Financial technology adalah hasil gabungan antara jasa keuangan dengan
teknologi yang akhirnya mengubah model bisnis dari konvensional menjadi
moderat, yang awalnya dalam membayar harus bertatap-muka dan membawa sejumlah
uang kas, kini dapat melakukan transaksi jarak jauh dengan melakukan pembayaran
yang dapat dilakukan dalam hitungan detik saja. – Sumber Bank BI –
Bagaimana Fintech bisa terjadi ? FinTech
muncul seiring perubahan gaya hidup masyarakat yang saat ini didominasi oleh
pengguna teknologi informasi tuntutan hidup yang serba cepat. Dengan FinTech,
permasalahan dalam transaksi jual-beli dan pembayaran seperti tidak sempat
mencari barang ke tempat perbelanjaan, ke bank/ATM untuk mentransfer dana, keengganan
mengunjungi suatu tempat karena pelayanan yang kurang menyenangkan dapat
diminimalkan. Dengan kata lain, FinTech membantu transaksi jual beli dan sistem
pembayaran menjadi lebih efisien dan ekonomis namun tetap efektif. – Sumber Bank BI –
Salah satu layanan yang ditawarkan oleh
fintech adalah peer-to-peer (P2P) lending.
P2P lending atau layanan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi informasi adalah penyelenggaraan
layanan jasa keuangan untuk mempertemukan pemberi pinjaman dengan
penerima pinjaman dalam rangka melakukan perjanjian pinjam meminjam dalam mata
uang rupiah secara langsung melalui sistem elektronik dengan menggunakan
jaringan internet. - Sumber OJK 77 /POJK.01/2016 –
P2P lending terdiri dari tiga pihak. Pertama, penyelenggara layanan yang
menyediakan, mengelola, dan mengoperasikan layanan pinjam meminjam uang
berbasis teknologi. Kedua, penerima
pinjaman (borrower) yang mempunyai utang karena perjanjian layanan pinjam
meminjam uang. Ketiga, pemberi
pinjaman (lender) yang menyediakan dana sebagai modal pinjaman.
Melihat dari statistik diatas, per Agustus
2019 jumlah Akumulasi Pinjaman sudah mencapai Rp 54,72 Triliun dan jumlah
rekening borrower mencapai 12 juta rekening yang juga didominasi kaum milenial.
Melihat perkembangan yang sangat pesat,
bagaimana potensi pajaknya?
Potensi
Pajak
Untuk saat ini belum ada aturan jelas atas industri
fintech P2P lending di Indonesia dan untuk regulasi perpajakannya dan
menggunakan pajak yang berlaku umum, sehingga untuk regulasinya masih abu –
abu.
Contoh Aspek Pajaknya :
PPN,
dikarenakan menurut OJK 77 /POJK.01/2016 pasal 2 penyelenggara dinyatakan
sebagai Lembaga Jasa Keuangan Lainnya, maka jika melihat UU PPN Pasal 4a ayat
(3) huruf d merupakan jasa yang tidak dikenai PPN.
Jasa keuangan
meliputi:
- jasa menghimpun dana dari masyarakat berupa giro, deposito berjangka, sertifikat deposito, tabungan, dan/atau bentuk lain yang dipersamakan dengan itu;
- jasa menempatkan dana, meminjam dana, atau meminjamkan dana kepada pihak lain dengan menggunakan surat, sarana telekomunikasi maupun dengan wesel unjuk, cek, atau sarana lainnya;
- jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, berupa:
- sewa guna usaha dengan hak opsi;
- anjak piutang;
- usaha kartu kredit; dan/atau
- pembiayaan konsumen;
- jasa penyaluran pinjaman atas dasar hukum gadai, termasuk gadai syariah dan fidusia; dan
- jasa penjaminan.
Kecuali jika fintech P2P lending, melakukan
JKP atau penyerahan BKP sesuai UU PPN yang berlaku, maka pengenaan PPN dapat
dilakukan.
PPh 23
atas bunga pinjaman, tetapi jika melihat dari statistik diatas
debitur atau borrower untuk badan usaha yang sedikit sekali yaitu sebesar 0,12%
berbeda dengan WP Pribadi yaitu sebesar 99,88%. Maka dari itu, dalam penentuan
pihak yang berwenang memungut pajak. Dalam ketentuan yang ada, pembayaran bunga
oleh debitur yang berbentuk badan wajib memotong PPh Pasal 23. Namun, yang
menjadi masalah adalah masih banyak debitur yang bukan pemotong PPh 23 dan
belum mengerti tata cara perpajakannya sehingga potensi pajak menjadi
hilang. Apabila skema pemungutan diubah
menjadi wajib pungut (wapu) oleh platform p2p , DJP akan terbantu dalam
menggali potensi pajak industri ini.
Bagaimana
pajak atas pendana atau Lender ?
Sebagai platform p2p hanya sebagai penghubung
antara pendana dengan peminjam. Ini berbeda dengan institusi lembaga keuangan
konvensional dimana mereka telah diatur oleh Pemerintah mengenai pajak. Jadi, platform
p2p tidak dapat memotong pajak imbal hasil yang diperoleh pendana dalam
aktivitas pendanaan yang mereka lakukan. Sehingga, untuk perpajakan sendiri itu
kewajibannya ada di peminjam.
Jika orang
pribadi, dengan omzet kurang dari 4,8M, maka pajak yang dikenakan
menggunakan tarif PPh final sebagaimana diatur dalam PP No. 23/2018, yaitu sebesar
0,5%. Sementara, wajib pajak dengan omzet dalam satu tahun lebih dari 4,8M maka
menggunakan tarif PPh sesuai dengan Pasal 17 Undang-Undang PPh.
Jika
Intitusi atau Badan Usaha, maka sebagai
other income dan menggunakan tarif sesuai omzetnya menggunakan Pasal 17 Undang-Undang PPh dan
bisa juga menggunakan Pasal 31E
0 Komentar